Oleh ADE JAHRAN
Keterbukaan Informasi Publik (KIP) nampaknya masih dianggap sebuah momok yang menakutkan bagi sebagian orang, terlebih pejabat atau abdi negara. Akibatnya tak jarang badan publik yang mengabaikan Undang-undang (UU) Nomor 14 Tahun 2008 tentang Ketebukaan Informasi Publik (KIP). Karena momok yang menakutkan maka sejumlah badan publik bermain petak umpet dengan masyarakat yang ingin memperoleh informasi publik. Padahal KIP merupakan keinginan banyak pihak yang menghendaki pemerintah atau badan publik lebih terbuka dan transparan dalam hal pengelolaan anggaran (informasi publik). Apalagi memperoleh informasi yang benar itu merupakan hak asasi manusia yang termaktub dalam Pasal 28-F UUD 1945 yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Menurut Ahmad Rumadi yang mengutip pendapat David Banisar, ada sejumlah faktor internal dan ekternal mengapa sejumlah negara mengadopsi hukum keterbukaan informasi. Pertama desakan dunia internasional. Komunitas dunia internasional melalui berbagai instrumen telah mempromosikan keterbukaan informasi. Lembaga seperti Council of Europa, Commonwealth dan Organization of America State telah menyusun panduan model legislasi yang berperspektif keterbukaan informasi. Sejak September 2013, Council of Europa telah mengembangkan untuk kali pertama mengembangkan perjanjian internasional tentang akses informasi. Bank Dunia, International Minetary Fund (IMF) dan lembaga internasional yang lain menekan negara-negara yang mempunyai hubungan finansial agar mengadopsi hukum pemberantasan korupsi dan membuat sistem keuangan yang lebih akuntabel. Kedua, modernisasi dan perkembangan teknologi informasi dalam segala sektor kehidupan. Hal ini mendorong berkembangnya e-government yang memungkinkan desiminasi informasi. Ketiga, adanya jaminan hak konstitusional. Transisi demokrasi di banyak negara mendorong penegakkan akses informasi sebagai hak asasi manusias. Hal ini mendorong sejumlah negara membuat undang-undang keterbukaan informasi sebagai turunan dan konstitusi. Keempat, banyaknya korupsi dan skandal di sejumlah negara salah satu faktornya adalah lemahnya transparansi. Hal ini mendorong negara-negara tersebut mengadopsi hukum yang mengantisipasi kejadian serupa di masa yang akan datang.
Sedangkan menurut Juniardi yang mengutip pernyataan Abdul Rahman Ma’mun, di seluruh dunia, kini sudah 79 negara yang memiliki UU yang menjamin untuk tahu bagi warganya. Indonesia menjadi negara kelima di Asia, setelah Nepal, Thailand, India dan Jepang, yang menjamin hak warga negara untuk memperoleh informasi pubik. Karena itu menjadi relevan bila kita bersama warga dunia lainnya memperingati Right to Know Day (RTKD) atau Hari Hak untuk Tahu setiap 28 September.
Meski sudah ada regulasi yang jelas namun lagi-lagi badan publik masih sulit melaksanakan UU KIP tersebut. Ini butuh waktu dan proses agar seluruh badan publik sadar sesadar-sadarnya. Memang sangat sulit sekali menyadarkan orang yang selama bertahun-tahun hidup dengan tradisi ‘tertutup’. Padahal pemerintah pusat terus mewanti-wanti agar badan pubik terbuka kepada masyarakat. Terlebih lembaga pendidikan harus terbuka, karena pendidikan memegang peranan penting dalam mencerdaskan masyarakat.
Nah untuk mengimplementasikan UU KIP, kemudian Pemprov Banten membentuk KI Provinsi Banten pada 2011 dengan lima komisioner seperti yang diamanatkan UU. Perjalanan sejak 2011 hingga 2015 ini diketahui cukup banyak sengketa informasi yang diajukan oleh pemohon ke KI. Berdasarkan data yang ada di KI Banten menyebutkan bahwa jumlah permohonan sengketa informasi pada 2011 sebanyak 28 sengketa, tahun 2012 sebanyak 117, tahun 2013 melonjak drastis dengan 450 sengketa, tahun 2014 sebanyak 218 sengketa, dan tahun 2015 sebanyak 387 sengketa dan yang diselesaikan 321 sengketa. Dari sekian jumlah permohonan penyelesaian sengketa informasi tersebut, ada sejumlah badan publik yang menjadi termohon adalah lembaga pendidikan, seperti dinas pendidikan provinsi, kabupaten/kota, dan sejumlah sekolah. Pemohon yang bersengketa dalam sektor pendidikan menilai bahwa lembaga pendidikan belum terbuka soal anggaran dan kinerja pegawai serta program kerja. Misalnya penggunaan dana bantuan operasional sekolah (BOS). Ini penting untuk diketahui publik karena ini menyangkut kepentingan orang banyak. Jangan sampai dana BOS ini disalahgunakan oleh pihak tertentu atau segelintir orang.
Hasil penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW) sangat memprihatinkan. Dalam lamanwww.antikorupsi.org, tak ada dana pendidikan yang lolos dari belenggu korupsi. “Ini salah satu kesimpulan hasil kajian ICW soal korupsi pendidikan selama sepuluh tahun terakhir,” ungkap Siti Juliantari, peneliti ICW. “Semuanya kena. Alokasi APBN dan APBD seperti BOS, beasiswa, pembangunan dan rehabilitasi sekolah, gaji dan honor guru, pengadaan buku, pengadaan sarana prasarana, operasional. Dana-dana ini dikorupsi politisi, rektor, pejabat kampus, kepala sekolah, pejabat dan rekanan pemerintah,” ujar Tari, panggilan Siti Juliantari, prihatin.
Hasil pemantauan ICW mengungkap bahwa selama satu dasawarsa terakhir terdapat 296 kasus dugaan korupsi pendidikan. Indikasi kerugian negara sebesar Rp619 miliar dengan jumlah tersangka 479 orang. ICW memakai metodologi kuantitatif dalam menghimpun data kasus korupsi yang ditangani penegak hukum selama 10 tahun terakhir. Data didapat lewat pemantauan kasus korupsi di media massa dan jaringan masyarakat sipil di seluruh Indonesia. Dugaan korupsi di lembaga pendidikan menyebutkan, jumlah kasus korupsi cenderung tetap setiap tahun. Rata-rata 29 kasus dugaan korupsi terjadi setiap tahun, dengan kerugian negara mencapai Rp 53,5 miliar. Sasaran dana yang diduga dikorupsi yaitu dana alokasi khusus (DAK). Padahal, DAK ditujukan untuk membangun dan memperbaiki gedung sekolah serta sarana prasarana (sarpras) lain. Peringkat kedua diduduki dana BOS dan pengadaan infrastruktur sekolah/madrasah. Jumlah korupsi pengadaan sarpras di perguruan tinggi dan Kemendikbud sedikit. Tapi merugikan negara paling besar di antara institusi lain. Sedangkan modusnya antara lain: Penggelapan mencetak skor 106 kasus dengan kerugian negara 248,5 miliar rupiah. Sementara mark up dilancarkan pada 59 kasus dengan kerugian negara 195,8 miliar rupiah. Pelaku paling banyak menggunakan penggelapan dan mark up untuk menyelewengkan DAK dan BOS.
Kemudian lembaga yang disorot dalam dugaan korupsi adalah Dinas Pendidikan. Dalam sepuluh tahun terakhir se Indonesia, Dinas Pendidikan paling sedikit telah melakukan 151 praktik korupsi dengan kerugian negara mencapai Rp 356,5 miliar. Perguruan tinggi juga mencatat “prestasi” korupsi dengan kerugian negara yang besar. Perguruan tinggi telah menyelewengkan uang negara Rp 217,1 miliar dengan 30 praktik korupsi. Sekolah juga telah melakukan paling sedikit 82 kali korupsi dengan kerugian negara Rp 10,9 miliar. Hampir semua institusi pendidikan terutama semua jenjang satuan pendidikan melakukan korupsi. Sedangkan daerah yang paling banyak korupsi pendidikan adalah Provinsi Banten. Kerugian negara berkat prestasi korupsi dana pendidikan Provinsi Banten mencapai Rp 209 miliar dengan jumlah kasus kurang dari 10. Jumlah kasus di provinsi lain memang lebih besar, namun kerugiannya lebih “kecil” dibanding Banten. Jabar dan Jateng masing-masing 33 kasus, Jatim dan Sumut masing-masing 24 kasus.
Lalu apa solusinya? Staf investigasi ICW Wana Alamsyah di Jakarta mengatakan, ada empat solusi yang bisa dijalankan untuk menekan angka korupsi. Pertama, penerima manfaat (Pemprov, Pemkab, Pemkot) wajib menerapkan sistem pengadaan secara elektronik. “Pemerintah pusat melalui Kemendikbud perlu menjadikan system pengadaan elektronik sebagai syarat pengucuran dana pendidikan tahun berikutnya,” katanya. Kedua, dalam setiap belanja ataupun pengeluaran lain-lainnya, Pemerintah Daerah wajib menerapkan sistem transaksi non tunai (cashless). Ketiga, pemberdayaan komite sekolah untuk menjalankan fungsi pengawasan dalam proses penyusunan anggaran pendidikan di sekolah dan pengawasan pelaksanaan pendidikan yang meliputi pengadaan, penggunaan dana operasional. “Intinya komite sekolah harus dipilih melalui sistem yang transparan dan demokratis agar menghindarkan dari kemungkinan menjadi komite sekolah yang lembek,” tuturnya. Keempat, dengan cara mendorong wakil rakyat di daerah untuk meningkatkan fungsi dan perannya dalam pengawasan pelaksanaan pendidikan di daerahnya masing-masing. “Baik terkait dengan rencana program, maupun monitoring dan evaluasi,” katanya menambahkan.
Senada dikatakan, Hania Rahma dari Komunitas Perempuan Bogor Antikorupsi, korupsi terjadi di sekolah karena tidak ada transparansi penggunaan anggaran. “Sangat sulit bagi masyarakat, bahkan orangtua siswa, untuk bisa mengetahui pertanggungjawaban penggunaan anggaran di sekolah,” katanya.
Dengan melihat fakta itu, ternyata lagi-lagi faktor transparansi dan keterbukaan informasi menjadi salah satu elemen penting dalam memberantas korupsi dan menciptakan pemerintahan yang baik dan bersih. Di lembaga pedidikan juga seperti itu. Seperti yang diungkapkan Jimmy Ph. Paat, ketertutupan informasi merupakan persoalan krusial yang masih terjadi di dunia pendidikan. Oleh karena itu, kehadiran UU 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik sangat diharapkan dapat memecah kebuntuan informasi yang dialami masyarakat dan pendidik dalam mengakses informasi pendidikan. Dengan UU KIP tersebut, aparatur birorasi pendidikan tidak boleh semena-mena menyatakan rahasia terhadap informasi yang berada di bawah kewenangannya.
Memang saat ini lembaga pendidikan mulai dari pusat hingga daerah bahkan satuan pendidikan mengelola dana yang cukup besar. Contohnya sekolah yang mengelola dana BOS dan dana iuran dari wali murid. Dana-dana itu memang rawan diselewengkan karena pengawasan yang minim. Pada tingkat sekolah, terdapat dua lapisan korupsi, berkatan dengan kepala sekolah dan guru. Korupsi yang dilakukan oleh guru disebabkan karena faktor kesejahteraan yang minim. Uang yang diambilpun bukan berasal dari sekolah, tapi dari peserta didik, tergolong dalam petty corruption. Penyebab mereka korupsi karena kesejahteraan minim. Korupsi yang dilakukan kepala sekolah biasanya menggunakan dua modus, penganggaran ganda dan penggelapan. Sasarannya adalah APBS dan biasanya dalam jumlah yang besar. Mudahnya petinggi atau pejabat sekolah melakukan manipulasi dana APBS disebabkan karena tidak ada yang mampu melakukan control termasuk guru dan komite sekolah. Untuk itu, mari kita awasi lembaga pendidikan agar lebih terbuka lagi terhadap semua informasi publik. Samakan persepsi bahwa keberadaan UU KIP untuk sepenuhnya kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. (*).
Penulis adalah Komisioner Komisi Informasi Provinsi Banten
(Sumber adejahran.com)
Komisi Informasi Provinsi Banten
Jl. Raya Pakupatan Blok Kemang, Kel. Penancangan, Kec. Cipocok Jaya, Kota Serang, Banten 42124
Telp/Fax: 0254 - 7927100
Whats App : 02547927100
E-mail: komisiinformasi[at]bantenprov.go.id dan kipbanten[at]gmail.com