Oleh Yhannu Setiawan - UU 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) merupakan pengejawantahan Pasal 28F UUD NRI Tahun 1945, yang berisi jaminan perlindungan hak atas informasi. Secara historikal pembentukannya, lahir dari spirit kebebasan di tengah euphoria demokrasi pasca tumbangnya orde baru. Maka dapat dimaklumi jika dalam konteks penerapannya, terdapat sejumlah permasalahan dari sisi kejelasan (lex certa) maupun ketegasannya (lex stricta), terutama terkait mekanisme permohonan informasi dan area teknis penyelesaian sengketa informasi.
Semangat memperluas akses atas informasi publik, kemudian terdistorsi dengan sikap dari pengaju permohonan informasi publik yang kerap tidak berkenan menyertakan kejelasan maksud dan tujuan permohonannya atau tujuan permohonan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Permohonan-permohonan tersebut terkesan diajukan pemohon informasi tanpa didasari itikad baik (goeder throuw) yang secara mutatis mutandis mengganggu tertib administrasi penyelenggaraan penyelesaian sengketa informasi di Komisi Informasi.
Berdasarkan hal tersebut, Pasal 4 Perki No. 1 Tahun 2013 tentang Prosedur Penyelesaian Sengketa Informasi Publik (Perki PPSIP) sebagai perubahan atas Perki Nomor 2 tahun 2010, merumuskan rangkaian norma teknis yang bertujuan menjaga tertib prosedur dan formalisme tahapan PSI terhadap permohonan yang tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh dan beritikad baik (vexatious request). Dengan demikian, Pasal 4 Perki PPSIP sejatinya merupakan ikhtiar dan jalan keluar mengatasi kebuntuan peraturan (rechts impasse) karena UU No. 14 Tahun 2008 tidak cukup tegas mengatur syarat PSI.
Penolakan permohonan sebagaimana diatur Pasal 4 Perki PPSIP, sebetulnya juga lazim dikenal dan dipraktekan di lembaga peradilan dengan istilah dan mekanisme tertentu. Contohnya yang terjadi di lingkungan tata usaha negara (PTUN) dikenal istilah dismissal procces, yaitu suatu proses sebelum atau di awal persidangan yang meneliti kelengkapan, ketepatan, atau kelayakan permohonan untuk terus disidangkan. Hanya saja perbedaan terdapat pada argumen dan mekanisme penolakan, termasuk upaya hukum yang dapat ditempuh. Pasal 62 UU PTUN menyediakan upaya hukum yang ditempuh guna melawan keputusan penolakan, sedangkan Pasal 4 Perki PPSIP tidak menyediakannya.
Bahwa pemenuhan hak atas informasi sebagaimana diatur Pasal 28F UUD 1945, secara konstitusional dalam pemenuhan dan konstruksi teknis pada penerapannya dapat dikesampingkan (derogable right), berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu sebagaimana dimaksud Pasal 28J. Oleh karenanya, hak atas informasi bukan berarti kebebasan yang bersifat mutlak, namun dapat dibatasi dengan mengatur mekanisme atau tata cara penolakan penyelesaian sengketa informasi bila permohonan yang diajukan terbukti tidak memiliki tujuan yang jelas (vexatious request).UU 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) merupakan pengejawantahan Pasal 28F UUD NRI Tahun 1945, yang berisi jaminan perlindungan hak atas informasi. Secara historikal pembentukannya, lahir dari spirit kebebasan di tengah euphoria demokrasi pasca tumbangnya orde baru. Maka dapat dimaklumi jika dalam konteks penerapannya, terdapat sejumlah permasalahan dari sisi kejelasan (lex certa) maupun ketegasannya (lex stricta), terutama terkait mekanisme permohonan informasi dan area teknis penyelesaian sengketa informasi.
Semangat memperluas akses atas informasi publik, kemudian terdistorsi dengan sikap dari pengaju permohonan informasi publik yang kerap tidak berkenan menyertakan kejelasan maksud dan tujuan permohonannya atau tujuan permohonan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Permohonan-permohonan tersebut terkesan diajukan pemohon informasi tanpa didasari itikad baik (goeder throuw) yang secara mutatis mutandis mengganggu tertib administrasi penyelenggaraan penyelesaian sengketa informasi di Komisi Informasi.
Berdasarkan hal tersebut, Pasal 4 Perki No. 1 Tahun 2013 tentang Prosedur Penyelesaian Sengketa Informasi Publik (Perki PPSIP) sebagai perubahan atas Perki Nomor 2 tahun 2010, merumuskan rangkaian norma teknis yang bertujuan menjaga tertib prosedur dan formalisme tahapan PSI terhadap permohonan yang tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh dan beritikad baik (vexatious request). Dengan demikian, Pasal 4 Perki PPSIP sejatinya merupakan ikhtiar dan jalan keluar mengatasi kebuntuan peraturan (rechts impasse) karena UU No. 14 Tahun 2008 tidak cukup tegas mengatur syarat PSI.
Penolakan permohonan sebagaimana diatur Pasal 4 Perki PPSIP, sebetulnya juga lazim dikenal dan dipraktekan di lembaga peradilan dengan istilah dan mekanisme tertentu. Contohnya yang terjadi di lingkungan tata usaha negara (PTUN) dikenal istilah dismissal procces, yaitu suatu proses sebelum atau di awal persidangan yang meneliti kelengkapan, ketepatan, atau kelayakan permohonan untuk terus disidangkan. Hanya saja perbedaan terdapat pada argumen dan mekanisme penolakan, termasuk upaya hukum yang dapat ditempuh. Pasal 62 UU PTUN menyediakan upaya hukum yang ditempuh guna melawan keputusan penolakan, sedangkan Pasal 4 Perki PPSIP tidak menyediakannya.
Bahwa pemenuhan hak atas informasi sebagaimana diatur Pasal 28F UUD 1945, secara konstitusional dalam pemenuhan dan konstruksi teknis pada penerapannya dapat dikesampingkan (derogable right), berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu sebagaimana dimaksud Pasal 28J. Oleh karenanya, hak atas informasi bukan berarti kebebasan yang bersifat mutlak, namun dapat dibatasi dengan mengatur mekanisme atau tata cara penolakan penyelesaian sengketa informasi bila permohonan yang diajukan terbukti tidak memiliki tujuan yang jelas (vexatious request).
Penulis adalah Komisioner Komisi Informasi Pusat
Komisi Informasi Provinsi Banten
Jl. Raya Pakupatan Blok Kemang, Kel. Penancangan, Kec. Cipocok Jaya, Kota Serang, Banten 42124
Telp/Fax: 0254 - 7927100
Whats App : 02547927100
E-mail: komisiinformasi[at]bantenprov.go.id dan kipbanten[at]gmail.com